Berbicara tentang demokrasi, berarti tentu saja kita berbicara tentang retorika yang sampai saat ini masih menjadi sistem di negara kita, Indonesia. Tidak hanya dari segi pemerintahan, segala lini kehidupan masyarakat sepertinya tak luput dari pangaruh demokrasi. Bila kita menyangkutpautkannya dengan ranah kampus, secara singkat tentu saja kita berfikir bahwa demokrasi ini pun telah mendarah daging di kampus kita. Karena, bukankah pemirama telah ada tiap tahunnya di kampus kita tercinta? Namun, seketika tanyapun menyeruap. Sesimpel itukah demokrasi? Sekedar pemilihan ketua secara umum? Sayangnya tidak. Dunia kampus yang digadang-gadang sebagai “Harimau Demokrasi” sepertinya sedang ompong, kehilangan taring. Fakta lapangan membuktikan bahwa ternyata bila ditilik lebih jauh, sistem yang ada di kampus kita tercinta, kampus orange terutama dari kaum birokrat, bukanlah budaya demokrasi melainkan tirani. Sikap apatis kaum birokrat terhadap kritikan mahasiswa sepertinya menjadi wabah yang belum ditemukan penawarnya. Dapat kita misalkan saja mengenai kasus pelarangan kolom opini. Realita ini seolah menjadi salah satu contoh noda kelam, bahwa secara tidak langsung kaum birokrat ingin menumpulkan budaya kritis dari para mahasiswa. Padahal kita tahu bahwa sejarah pun membuktikan bahwa lewat kekritisan para mahasiswalah, kediktatoran dan sifat represif dari para penguasa dapat diseimbangkan. Tak heran jika kita menemukan bahwa mayoritas mahasiswa kini adalah mereka yang cenderung acuh, pragmatis, dan opertunis serta belum menyadari hakikatnya sebagai mahasiswa.
Pada dasarnya, pencengkraman gerak dan daya kritis mahasiswa sudah terjadi sejak awal mahasiswa memasuki dunia kampus. Mahasiswa didoktrin untuk study oriented sehingga peran organisasi yang menjadi penampung aspirasi sekaligus penggerak mahasiswa seolah berjalan kurang efektif. Semua kesimpulan itu lahir dari tindak tanduk kaum birokrat sendiri, tidak diizinkannya pengkaderan bersama demi menumbuhkan kekompakan dan jiwa kritis mahasiswa, dukungan yang kurang dan berbelitnya birokrasi untuk melakukan upaya-upaya pencerdasan terutama dalam hal politik kampus menjadi bukti nyata segalanya. Apabila budaya ini terus saja dipupuk, bukan tidak mungkin di era mendatang, mereka-mereka yang datang ke kampus bukanlah mahasiswa melainkan robot karena rasa peka yang kian hari kian terpangkas. Padahal idealnya kampus harus mampu memenuhi asupan baik kognitif, psikomotor maupun afektif bagi para mahasiswa.Bukan sekedar pencekokan aspek kognitif di tiap harinya sebagaimana yang kita dapatkan kini. Mahasiswa sesak dan kekurangan ruang bebas untuk berpendapat dan bergerak sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat luas padanya, yaitu sebagai penyambung dan pejuang aspirasi.
Jika kita membandingkan tatanan kelembagaan kampus dengan yang ada di negara ini, maka lembaga legislatif yang bertugas langsung mengurusi ke ranah mahasiswa adalah DPM. BEM sebagai lembaga eksekutif yang bergerak sebagai jabatan politis. Sedangkan, UKM sebagai lembaga pengasahan kreatifitas dan HIMA sebagai lembaga akademi profesi. Tapi, kasus yang terjadi adalah sepertinya peran lembaga-lembaga tersebut mulai bergeser sehingga mahasiswa awam menganggap bahwa bukan DPM, melainkan BEM lah yang berkewajiban dan memertanggung-jawabkan segala hal yang berhubungan dengan kemahaiswaan. Sedangkan kita melihat kini, lembaga yang diharapkan mahasiswa pun cenderung bergeliat kurang maksimal dalam pemenuhan harapan mahasiswa sebagai penyambung lidah kepada kaum birokrat.
Namun, disamping segala noda kelam itu, lagi-lagi kita harus berbahagia karena setidaknya sistem yang ada di kampus kita sudah cukup memuaskan. Baik dari segi perundang-undangan, AD/ART, dll. Setidaknya apabila disejajarkan dengan kampus lain yang ada di Universitas Tanjungpura, kampus kita tidak keluar dari tiga kampus terbaik perihal sistem. Tidak hanya itu, adanya kegiatan seperti School Of Leadership yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa ini seolah memberi angin segar kepada mahasiswa, bahwa selain lingkaran pencerdasan berupa penngkaderan yang mulai dipersempit kaum birokrat, mahasiswa masih memiliki lingkaran lainnya yang diharapkan mampu kembali menggelorakan semangat demokrasi di kampus ini.
Dengan segala upaya gebrakan yang telah dilakukan, semoga taji demokrsi ranah orange ini kian tajam. Karena sesungguhnya mahasiswalah promotor perubahan yang tidak seharusnya seketika ciut dengan kata DO.
Seperti apa yang sudah dipaprkan di atas, apabila kita ingin melihat positif dan negatifnya budaya demokrasi. Mungkin kita belum bisa berkaca pada situasi di kampus kita, karena sungguh bukanlah sistem demokrasi yang sedang dihidangkan pihak birokrat, melainkan budaya tirani yang enggan dikritik dan dipersalahkan. Oleh karena itu, mahasiswa tidak sehariusnya diam saja. Perjuangan dan tinta emas mahasiswa di masa lalu maupun di daerah lain seharusnya menjadi refleksi bagi kita yang mengaku mahaisawa. Mahasiswa harus kompak untuk mengahdapi isu-isu ketidak adilan yang mencaplok hak-hak mahasisawa di kampus ini. Salah satu caranya adalah dengan memperjuangkan adanya pengkaderan bersama seperti yang telah dilakukan oleh kampus lain dan kita mengakui dengan jelas manfaatnya. Selain itu, mahasiswa juga harus melakukan pencerdasan politik agar peka terhadap perpolitikan kampus ini dengan cara banyak berdiskusi mengenai dinamika kampus yang terjadi ataupun mengikuti agenda-agenda seperti SOL ini. Kita harus yakin bahwa mahasiswa FKIP juga bisa berevolusi. Salam Mahasiswa. Salam Perubahan!
Biodata Narasumber
Narasumber yang akrab disapa Bang Ishak ini bernama lengkap Ishak Qodari. Beliau merupakan alumnus dari SD Negeri 09 Sui. Kakap, SMP Negei 1 Sui. Kakap, SMA Negeri 2 Pontianak dan kini beliau tercatat sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi FKIP UNTAN. Mahasiswa kelahiran Sui. Kakap, 30 April 1989 ini memang merupakan tipe seseorang yang senang sekali berorganisasi, maka tak mengherankan jika beliau pernah menjabat sebagai ketua-ketua agenda dan lembaga termasuk menjadi ketua PAMB dan Gamabasis serta Ketua BEM FKIP UNTAN Periode 2010/2011. Beliau memiliki hobi bermain bulu tangkis dan memiliki motto hidup yaitu “You’ll Never Walk Alone”
ini kelompok SOL kami (pembuat cerita)
penulis : Annisa Ambarwati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar